Pada zaman dahulu ada seorang pangeran bernama Raden Made Pandan dari Kerajaan Demak. Raden Made Pandan juga dikenal sebagai seorang ahli agama Islam atau ulama yang disegani oleh berbagai kalangan masyarakat. Raden Made Pandan mempunyai putera bernama Raden Pandanarang. Raden Pandanarang adalah anak yang baik, ramah, sopan santun, dan menghormati kedua orangtuanya.
Suatu ketika Raden Pandanarang dan beberapa pengiring kerajaan diajak oleh Raden Made Pandan pergi dari wilayah Kesultanan Demak.
“Puteraku. Maukah kamu ikut pergi berkelana denganku? Besok kita akan meninggalkan wilayah Kesultanan Demak ini bersama-sama dengan beberapa pengiring kerajaan,” tanya raden Made Pandan kepada puteranya.
“Hendak kemanakah, Ayahanda?” ujar Raden Pandanarang penasaran.
“Kita akan pergi menuju kea rah barat. Di sana kita akan menyebarkan agama Islam. Konon, aku dengar tanah di daerah sana sangat subur. Persiapkanlah dirimu, Puteraku,” ujar Raden Made Pandan seraya menepuk pundak puteranya.
“Baiklah, Ayahanda.”
Mereka akhirnya pergi kea rah barat. Hingga pada suatu hari, mereka sampai di suatu daerah yang subur. Kemudian mereka membuka hutan dan mendirikan rumah di daerah itu.
“Kita berhenti di daerah sini saja. Segera perintahkan kepada para pengiring kerajaan untuk membabat beberapa pohon di hutan ini, kemudian dirikan sebuah rumah untuk tempat tinggal kita, puteraku,” perintah Raden Made Pandan dengan lantang.
Akhirnya Raden Made Pandan menyebarkan agama Islam di tempat itu dengan mendirikan pondok pesantren. Pada awalnya, hanya pengiring dan pengikutnya saja yang menjadi muridnya. Namun, semakin lama semakin banyak orang yang menjadi muridnya dan menetap di daerah itu.
Suatu hari datang seorang pengiring kerajaan menghadap Raden Made Pandan.
“Gusti, di luar ada banyak penduduk yang datang. Mereka ingin belajar agama Islam di pondok pesantren ini. Bagaimana ini, Gusti?”
“Persilahkan mereka masuk ke pondok ini. Aku akan menerimaya menjadi muridku dan kita akan mendalami ajaran agama Islam bersama-sama,” ujar Raden Made Pandan.
Raden Made Pandan mengharapkan pada suatu saat nanti puteranya mampun menggantikannya sebagai guru agama Islam di daerah itu. Raden Made berwasiat kepada puteranya, Raden Pandanarang.
“Puteraku, jika Ayah meninggal, maka teruskanlah perjuangan kita untuk menyebarkan agama Islam di daerah ini. Bimbinglah umat dalam mengolah lahan pertanian. Tetaplah tinggal di daerah ini. Dan selalu berpegang teguh kepada ajranan Para Wali. Insya’ Allah hidupmu kelak selamat dunia dan akhirat.”
“Baiklah, Ayahanda,” jawab Raden Pandanarang dengan penuh hormat.
Raden Pandarang selalu mengingat pesan orangtuanya. Setelah Raen Made Pandan meninggal dunia, Raden Pandanarang terus melanjutkan mengajar agama Islam kepada masyarakat dan mengelola tempat itu sebaik-baiknya. Semakin hari daerah itu semakin subur, hampir semua tanaman dapat tumbuh di daerah itu.
Banyak orang-orang lain dari luar daerah berdatangan dan menetap di daerah itu. Murid dan pengikut Raden Pandanarang pun semakin banyak.
Suatu ketika, Raden Pandanarang melihat suatu hal yang janggal. Di daerah yang subur, di antara pohon-pohon yang menghijau, tampak beberapa pohon asam yang tumbuhnya saling berjauhan.
“Mengapa pohon-pohon asam itu tumbuh berjauhan, padahal tanahnya di sini subur, kan?” tanya Raden Pandanarang.
“Iya, Raden …!” jawab beberapa orang pengikut.
“Ini memang suatu hal yang tidak lazim terjadi. Kalau begitu daerah ini akan kunamakan Semarang. Berasal dari kata sem yang jarang-jarang (asem kanga rang-arang).”
Sebagai pendiri dan pembuka daerah Semarang yang pertama kali, maka Raden Pandanarang langsung diangkat sebagai pemimpin dan bergelar Ki Ageng Pananarang 1.
sumber : Kumpulan Cerita Rakyat Indonesia Cerita Rakyat Jawa Tengah 2, Jakarta:
CV. Sinar Cemerlang Abadi. Hal.55 – 60
No comments:
Post a Comment